Bayangkan Bila...
"Bu,
kenapa sih kok bapak kerjanya di pasar, temen-temen Aa bapak nya kerja
nya dikantor, katanya enak bu, kalo dikantor itu bersih, ada komputer
terus ada buku-buku, ntar kalau Aa maen ke kantor bapak, Aa bisa maen
komputer..." Itu pertanyaan polos dari keponakan saya yang baru berumur 5
tahun dan masih duduk di bangku TK.
Mungkin karena faktor teman- temannya di sekolah yang sering bercerita tentang ayah-ayah mereka yang kebanyakan memang pegawai kantoran dan bercerita tentang segala "keistimewaan" bekerja di kantor sehingga muncul pertanyaan tersebut. Tentu saja sang ibu keponakan saya itu berusaha dengan "bahasa yang dapat dimengerti anak-anak" menjelaskan dengan lugas tentang apa itu pekerjaan.
Yang pasti dari sejak kecil, anak-anak memang harus ditanamkan bahwa pekerjaan itu cakupannya luas dan amat luas seluas samudera kalau memang kita bisa mencari, menggali dan mewujudkan walaupun dengan perjuangan yang amat panjang.. apapun bentuk pekerjaan itu, asalkan halal. Dan tentu saja bagi orang-orang yang beruntung mempunyai pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang bagus bukan berarti harus berbesar kepala seolah tidak membutuhkan lagi orang - orang disekelilingnya, terutama orang - orang yang karena pendidikannya terbatas dan hanya berkesempatan untuk menjadi pedagang asongan, pembantu rumah tangga dan lain sebagainya.
Karena semua pekerjaan adalah mata rantai yang tak terputus seperti simbiosis mutualisma yang saling menguntungkan satu sama lain tanpa harus korupsi, tanpa harus sikut sana sikut sini. Dan pekerjaan itu bukan terbatas hanya dikantor saja. Kalau semua orang bekerja dikantor, kita dapat bayangkan betapa sulit ruang gerak kita. Bukan begitu?
Bayangkanlah bila para penumpang bis, angkot dan sebagainya yang akan kelimpungan tujuh keliling bila para supir "ngambek" tidak mau menyupir.
Bayangkanlah bila orang-orang di dalam mobil yang kehausan tapi dia tidak menemukan satupun pedagang asongan yang menjual minuman karena semua pedagang asongan "ngambek" untuk berdagang. Dan saya pernah merasakan tersiksanya kehausan setelah berpeluh keringat mengejar bis sementara pedagang asongan tak kunjung muncul. Ketika itu saya hanya bisa membayangkan betapa indahnya meminum seteguk air yang ditawarkan pedagang asongan andai saja mereka muncul dihadapan saya saat itu.
Bayangkanlah bila murid2 ketinggalan banyak pelajaran karena guru mereka "bosan" mengajar.
Bayangkanlah bila para kontraktor perencana gedung yang "hilang" tender karena buruh2 bangunan "enggan" bekerja.
Bayangkanlah bila para karyawan digedung-gedung perkantoran yang kelaparan saat makan siang.. karena pedagang-pedagang makanan disekitar kantor mereka "mogok" jualan.
Bayangkanlah bila ibu-ibu dirumah yang harus "berpeluh keringat " mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tiada habis-habisnya karena para khadimat mereka "pulang kampung" dan tidak mau lagi bekerja.
Bayangkanlah bila kantor-kantor, mall-mall ataupun perusahaan-perusahaan yang gedungnya kotor tak terurus karena para petugas cleaning service nya "tidak mau" lagi bekerja.
Ternyata...kita butuh mereka...para supir, pedagang asongan, pedagang makanan, para pembantu rumah tangga dan lain sebagainya. Mereka amat berjasa bagi kita walaupun kadang keberadaan mereka tidak kita hargai.
Keramahan dan penghargaan terhadap orang - orang kecil dan hal - hal kecil amat sangat dibutuhkan, apapun status dan pekerjaan orang tersebut.
Seperti raut muka ceria anak anak ditempat saya mengajar tiap sabtu dan Minggu yang dengan semangatnya menceritakan pekerjaan ayah mereka yang hanya seorang pemulung dimata orang lain. Tetapi dimata mereka ayah mereka lah pahlawan dikeluarga, yang dengan tegarnya menghadapi tantangan hidup, walaupun hanya bisa memberi tempat tinggal sebuah petakan ukuran 3x4 m dengan harga sewa Rp. 70.000 ribu perbulan.
Dan tidak ada salahnya kita bergaul dengan mereka, untuk mengingatkan agar selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan.
Dan anak-anak yang beruntung karena keluarga mereka berkecukupan pun harus tahu dan diajarkan bahwa disekitar mereka masih banyak anak-anak yang kurang beruntung. Indahnya bila hidup ini saling mengasihi dan menghargai.
Satu hal lagi dari sekian banyak PR yang harus kita bayangkan, yaitu...
Bayangkanlah bila para istri "berhenti total" untuk mengurus anak-anak, suami dan rumah tangga nya karena terlalu jenuh dengan rutinitas seputar dapur, sumur dan kasur. Mengenai hal satu ini ada satu pertanyaan dari salah seorang teman saya, "Lalu kami ini para lelaki harus bagaimana? Membiarkan para istri bekerja dikantor dan anak-anak serta keluarga terbengkalai?"
Ups...tentu saja tidak. At least memberi ruang gerak bagi para istri untuk maju bersama. Intinya maju bersama dalam artian dalam rumah tangga. Kalau suami maju dan berkembang, dia juga harus berfikir dan bertindak untuk membuat istrinya maju juga. Sehingga proses pembelajaran di rumah tangga terus menerus berlangsung, long life learning, sehingga istri bisa mengaktualisasikan diri.
Sehingga konteks rumah tangga itu bukan berarti "memperbantukan" istri ibarat pembantu yang harus stay tune 24 jam sehari dengan tanpa adanya proses pembelajaran buat si istri. Menjadi ibu rumah tangga secara full pun tidak masalah apalagi bila dibarengi dengan kegiatan - kegiatan yang manfaat di sekitar lingkungannya. Menjadi ibu bekerja pun juga tidak masalah asalkan balance antara keluarga dan pekerjaan. Karena yang terpenting dalam keluarga adalah kualitas komunikasi yang intens bukan kuantitasnya, dan saling berbagi tugas dengan suami dalam mengurus rumah tangga.
Dan bagi para ibu, tentu saja bekerja bukan hanya dikantor saja, nanti kalau semua ibu - ibu bekerja dikantor, lalu siapa nanti yang akan sabar mengajar anak - anak TK, SD, SMP, SMU sampaiUniversitas? Siapa yang akan memeriksa ibu - ibu hamil jika saja tidak ada dokter kandungan perempuan? Siapa yang akan berjualan masakan untuk disantap para karyawan?Dan tentu saja masih banyak lagi profesi - profesi lainnya bagi para ibu yang bekerja.
Saya masih ingat dulu saat SD, dibuku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia sering terdapat contoh - contoh kalimat seperti :
"Ibu pergi ke pasar, bapak pergi kekantor..", kalau boleh merevisi nya sih... rasa-rasanya tidak ada salahnya kalau konteks kalimat itu ditambahkan lagi menjadi :
"Ibu pergi mengajar, bapak pergi kekantor"
Atau konteks itu bisa berubah total secara situasional dan kondisional..:
"Pada hari Minggu ... ayah pergi ke pasar, ibu istirahat di rumah..."
Asik kan? Bila saling berbagi tugas apalagi dimulai di Ramadhan yang penuh berkah ini...
Bayangkan dan wujudkan...
Bekasi, Ramadhan penuh cinta 1424 H
dini@mipp.ntt.net.id
sumber : eramuslim
Mungkin karena faktor teman- temannya di sekolah yang sering bercerita tentang ayah-ayah mereka yang kebanyakan memang pegawai kantoran dan bercerita tentang segala "keistimewaan" bekerja di kantor sehingga muncul pertanyaan tersebut. Tentu saja sang ibu keponakan saya itu berusaha dengan "bahasa yang dapat dimengerti anak-anak" menjelaskan dengan lugas tentang apa itu pekerjaan.
Yang pasti dari sejak kecil, anak-anak memang harus ditanamkan bahwa pekerjaan itu cakupannya luas dan amat luas seluas samudera kalau memang kita bisa mencari, menggali dan mewujudkan walaupun dengan perjuangan yang amat panjang.. apapun bentuk pekerjaan itu, asalkan halal. Dan tentu saja bagi orang-orang yang beruntung mempunyai pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang bagus bukan berarti harus berbesar kepala seolah tidak membutuhkan lagi orang - orang disekelilingnya, terutama orang - orang yang karena pendidikannya terbatas dan hanya berkesempatan untuk menjadi pedagang asongan, pembantu rumah tangga dan lain sebagainya.
Karena semua pekerjaan adalah mata rantai yang tak terputus seperti simbiosis mutualisma yang saling menguntungkan satu sama lain tanpa harus korupsi, tanpa harus sikut sana sikut sini. Dan pekerjaan itu bukan terbatas hanya dikantor saja. Kalau semua orang bekerja dikantor, kita dapat bayangkan betapa sulit ruang gerak kita. Bukan begitu?
Bayangkanlah bila para penumpang bis, angkot dan sebagainya yang akan kelimpungan tujuh keliling bila para supir "ngambek" tidak mau menyupir.
Bayangkanlah bila orang-orang di dalam mobil yang kehausan tapi dia tidak menemukan satupun pedagang asongan yang menjual minuman karena semua pedagang asongan "ngambek" untuk berdagang. Dan saya pernah merasakan tersiksanya kehausan setelah berpeluh keringat mengejar bis sementara pedagang asongan tak kunjung muncul. Ketika itu saya hanya bisa membayangkan betapa indahnya meminum seteguk air yang ditawarkan pedagang asongan andai saja mereka muncul dihadapan saya saat itu.
Bayangkanlah bila murid2 ketinggalan banyak pelajaran karena guru mereka "bosan" mengajar.
Bayangkanlah bila para kontraktor perencana gedung yang "hilang" tender karena buruh2 bangunan "enggan" bekerja.
Bayangkanlah bila para karyawan digedung-gedung perkantoran yang kelaparan saat makan siang.. karena pedagang-pedagang makanan disekitar kantor mereka "mogok" jualan.
Bayangkanlah bila ibu-ibu dirumah yang harus "berpeluh keringat " mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tiada habis-habisnya karena para khadimat mereka "pulang kampung" dan tidak mau lagi bekerja.
Bayangkanlah bila kantor-kantor, mall-mall ataupun perusahaan-perusahaan yang gedungnya kotor tak terurus karena para petugas cleaning service nya "tidak mau" lagi bekerja.
Ternyata...kita butuh mereka...para supir, pedagang asongan, pedagang makanan, para pembantu rumah tangga dan lain sebagainya. Mereka amat berjasa bagi kita walaupun kadang keberadaan mereka tidak kita hargai.
Keramahan dan penghargaan terhadap orang - orang kecil dan hal - hal kecil amat sangat dibutuhkan, apapun status dan pekerjaan orang tersebut.
Seperti raut muka ceria anak anak ditempat saya mengajar tiap sabtu dan Minggu yang dengan semangatnya menceritakan pekerjaan ayah mereka yang hanya seorang pemulung dimata orang lain. Tetapi dimata mereka ayah mereka lah pahlawan dikeluarga, yang dengan tegarnya menghadapi tantangan hidup, walaupun hanya bisa memberi tempat tinggal sebuah petakan ukuran 3x4 m dengan harga sewa Rp. 70.000 ribu perbulan.
Dan tidak ada salahnya kita bergaul dengan mereka, untuk mengingatkan agar selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan.
Dan anak-anak yang beruntung karena keluarga mereka berkecukupan pun harus tahu dan diajarkan bahwa disekitar mereka masih banyak anak-anak yang kurang beruntung. Indahnya bila hidup ini saling mengasihi dan menghargai.
Satu hal lagi dari sekian banyak PR yang harus kita bayangkan, yaitu...
Bayangkanlah bila para istri "berhenti total" untuk mengurus anak-anak, suami dan rumah tangga nya karena terlalu jenuh dengan rutinitas seputar dapur, sumur dan kasur. Mengenai hal satu ini ada satu pertanyaan dari salah seorang teman saya, "Lalu kami ini para lelaki harus bagaimana? Membiarkan para istri bekerja dikantor dan anak-anak serta keluarga terbengkalai?"
Ups...tentu saja tidak. At least memberi ruang gerak bagi para istri untuk maju bersama. Intinya maju bersama dalam artian dalam rumah tangga. Kalau suami maju dan berkembang, dia juga harus berfikir dan bertindak untuk membuat istrinya maju juga. Sehingga proses pembelajaran di rumah tangga terus menerus berlangsung, long life learning, sehingga istri bisa mengaktualisasikan diri.
Sehingga konteks rumah tangga itu bukan berarti "memperbantukan" istri ibarat pembantu yang harus stay tune 24 jam sehari dengan tanpa adanya proses pembelajaran buat si istri. Menjadi ibu rumah tangga secara full pun tidak masalah apalagi bila dibarengi dengan kegiatan - kegiatan yang manfaat di sekitar lingkungannya. Menjadi ibu bekerja pun juga tidak masalah asalkan balance antara keluarga dan pekerjaan. Karena yang terpenting dalam keluarga adalah kualitas komunikasi yang intens bukan kuantitasnya, dan saling berbagi tugas dengan suami dalam mengurus rumah tangga.
Dan bagi para ibu, tentu saja bekerja bukan hanya dikantor saja, nanti kalau semua ibu - ibu bekerja dikantor, lalu siapa nanti yang akan sabar mengajar anak - anak TK, SD, SMP, SMU sampaiUniversitas? Siapa yang akan memeriksa ibu - ibu hamil jika saja tidak ada dokter kandungan perempuan? Siapa yang akan berjualan masakan untuk disantap para karyawan?Dan tentu saja masih banyak lagi profesi - profesi lainnya bagi para ibu yang bekerja.
Saya masih ingat dulu saat SD, dibuku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia sering terdapat contoh - contoh kalimat seperti :
"Ibu pergi ke pasar, bapak pergi kekantor..", kalau boleh merevisi nya sih... rasa-rasanya tidak ada salahnya kalau konteks kalimat itu ditambahkan lagi menjadi :
"Ibu pergi mengajar, bapak pergi kekantor"
Atau konteks itu bisa berubah total secara situasional dan kondisional..:
"Pada hari Minggu ... ayah pergi ke pasar, ibu istirahat di rumah..."
Asik kan? Bila saling berbagi tugas apalagi dimulai di Ramadhan yang penuh berkah ini...
Bayangkan dan wujudkan...
Bekasi, Ramadhan penuh cinta 1424 H
dini@mipp.ntt.net.id
sumber : eramuslim
Tidak ada komentar: