Kontrak Para Pemimpin dengan Allah
BERBEDA dengan masyarakat biasa, ia lahir langsung menjadi rakyat tanpa melewati sejumlah seleksi. Sedangkan menjadi seorang pemimpin, tidak mudah dan sederhana. Ia diakui menjadi pemimpin melalui proses yang panjang dan alami (natural). Terlebih dahulu ia diuji keunggulannya dalam sebuah komunitas yang ia berada di dalamnya.
Amanah kepemimpinan ini telah ditawarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala kepada langit, bumi dan gunung, tetapi semuanya tidak menyanggupinya khawatir mengkhianatinya. Maka manusia siap memikulnya. Kemudian manusia berlaku zhalim karena miskin iman dan berbuat jahil karena kurang ilmu.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [tugas-tugas keagamaan, wadzifah diniyyah] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al Ahzab (33) : 72).
Memang, tidak sederhana menjadi pemimpin. Disamping mendapatkan SK langsung dari Allah Subhanahu Wata’ala , pemimpin juga bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah (2) : 30).
Bahkan, kemampuan kepemimpinan Nabi Adam as setelah dibimbing langsung oleh Allah Subhanahu Wata’ala .
عَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!." (QS: Al Baqarah (2) : 31).
Jadi, ada dua dimensi tanggungjawab yang dipikul di atas pundak seorang pemimpin. Yaitu, mengadakan kontrak vertikal dan kontrak horizontal. Jika seorang pemimpin khilaf terhadap Allah Subhanahu Wata’ala maka Ia adalah Maha Pengampun. Sedangkan manusia, pada umumnya pendendam. Jika terjadi haqqul adami (hak-hak anak Adam) yang dirampas, maka ia menanggung dosa yang manggantung. Allah Subhanahu Wata’ala tidak menghapus dosanya sebelum ia menyelesaikan dengan yang dipimpinnya.
Seorang yang lemah dalam kompetensi dan komiteman dalam memikul jabatan pemimpin akan berakhir dengan penyesalan.
Pernah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam mengingatkan kepada sahabat Abu Dzar Al Ghiffari untuk berambisi menjadi pemimpin, karena menurut beliau ia adalah seorang yang lemah. Kelemahan itulah yang menjadi kendala untuk menjalankan roda kepemimpinan.
Setidaknya ada dua persyaratan pokok yang harus dipenuhi sebagai seorang pemimpin. Di antara dua kode etik komitmen, sebagaimana sifat yang melekat dalam diri para utusan-Nya, yakni shiddiq (jujur antara perkataan dan perbuatan) dan amanah (dapat dipercaya).
Kemudian dua kode etik kompentensi adalah Tabligh (memiliki ketrampilan berkomunikasi dengan yang dipimpin) dan Fathonah (cerdas dan cepat dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya). Dua kode etik tersebut sudah menggambarkan sosok pemimpin yang ideal.
Keberhasilan dalam memikul amanat kepemimpinan, faktor keberuntungan dan keselamatannya di akhirat kelak.
ماَمِنْ عَشِيْرَةٍ اِلاَّ أَنْ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِياَمَةِ مَغْلُوْلَةٌ يَدَهُ اِلَى عُنُقِهِ اِماَّ أَطْلَقَهُ عَدْلُهُ أَوْ أُوْبَقَهُ جُوْرُه
“Tidak ada satu pun penguasa yang menanggung keperluan rakyat melainkan pada hari keadilannya atau dibinasakan oleh kezhalimannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
اَلْمُقْسِطَوْنَ عَلَى مَناَبِرِ مِنْ نُوْرٍ الذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِيْ حُكْمِهِمْ وَماَ وَلُّوْ
"Para pemimpin yang adil akan tinggal di atas panggung-panggung yang terbuat dari cahaya, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam memutuskan perkara dan mengurus ahli-ahlinya serta segala sesuatu yang diserahkan kepadanya.” (HR. Muslim, Nasai dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash).
Agar sukses melaksanakan kode etik tersebut, seorang pemimpin dituntut melaksanakan fungsi yang diembannya sebagaimana gelar yang disematkan pada seorang pemimpin dalam sejarah Islam. Gelar yang disematkan dalam diri pemimpin adalah Imam, Khalifah, Amir, Ra’in (khadim), dan Waliyyul Amr. Kelima gelar tersebut sekaligus menggambarkan fungsi yang dipikul di atas pundak seorang pemimpin.*
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar
sumber : http://hidayatullah.com/read/28387/02/05/2013/kontrak-para-pemimpin-dengan-allah--(1).html
Tidak ada komentar: